Daud Tony VS Gilbert Lumoindong
Anda tahu kenapa Ev. Daud Tony keok dalam pertarungannya melawan Pdt. Gilbert Lumoindong? Menurut saya, walaupun sakti mandraguna namun dia tidak menerapkan strategi sama sekali ketika bertarung. Bahkan sejak pertarungan hari pertama dia tidak menggunakan strategi sama sekali. Bila dia minta nasehat hai hai, saya jamin dia akan memenangkan pertarungan itu dengan gilang gemilang sejak hari pertama.
Memberanikan diri bertanya; Dalam buku-bukunya Ev. Daud Tony menulis:
Waktu itu saya datang di tempat ruangan doa, tempat persekutuan, bukan ibadah gereja. Saya menyampaikan salam, “Permisi.” Eh, tiba-tiba kepala saya dipegang, dan saya mendengar seseorang berseru, “Dalam nama Yesus, setan keluar!” Lalu kepala saya diurapi dengan minyak. Saya jadi jengkel diperlakukan begitu. Darah saya mendidih. Dunia Roh, hal 32
Saya seketika merapal mantera mengubah diri saya. Bukan menjadi perkutut tetapi harimau putih. Saat itu yang berani melawan saya hanya beberapa pendeta. Termasuk Pak Stefanus Pingki yang paling berani, di bantu pendeta yang lainnya (dengan gemetar) menengking, “Dalam nama Yesus …” Firman Tuhan mengatakan dan saya menyaksikan, lawanlah Iblis maka ia lari dari padamu. Saya pribadi menambahkan larilah kamu, kamu akan dikejar dan punggungmu akan diterkam setan. Jadi jangan takut pada setan. Takutlah pada Tuhan! Ibid. hal 32
Setelah kejadian itu saya pulang ke rumah sambil ngomel-ngomel. Bayangkan, ada ilmu satu tahun mandi sekali, kalau bulan Suro. Mungkin mereka mengira saya berilmu seperti itu, sehingga dilawan dengan air seember dengan minyak. Saya tidak bertobat hanya basah. Dan pulang dengan sumpah serapah. “Pendeta guoblok, edan kabeh!” Saya tidak bertindak apa-apa karena sedang frustasi sendiri sehingga tidak terpikir untuk membalas atau menyantet. Saya cuma sibuk mengasihani diri saya sendiri. Tapi caci maki saya terhadap hamba Tuhan yang merupakan biji mata Allah di dengar oleh Tuhan, akhirnya saya yang dibuat edan oleh Tuhan selama setahun. Ibid. hal 32
Belum hilang jengkel saya, beberapa hari kemudian kakakku dengan tebal muka mengajak lagi: “Eh, Ton, ayo ke KKR (Kebaktian Kebanguan Rohani) Gilbert Lumoindong. Gadisnya sip-sip!” Herannya saya mau saja menuruti kemauan kakak saya. Di salah satu tempat di Solo, waktu itu, Pak Gilbert mengadakan KKR. Kami tiba dari Sragen ke Solo saya datang untuk mencarikan gadis untuk kakak saya. Duduk di kursi paling belakang agar bisa memperhatikan dengan lebih baik. Ibid. hal 33
Saya merapal mantera aji hasta brojo. Eh tindakan saya ini rupanya ketahuan. Mungkin wajah saya yang berkonsentrasi penuh terlihat dari jauh dan diumumkan di antara pendeta-pendeta lalu kepada pak Gilbert. “Wah, itu lho orangnya, pak, yang punya ilmu berjalan di atas air, ilmu menghilang.”
“Oh, itu yah?.
Siapa namanya?”
“Tony”
Rupanya, tanpa sepengetahuan saya, pak Gilbert telah diberitahu oleh Stefanus Pingki. Ketika saya santet lagi, ia bertanya lagi, “Saudara diberkati? Halleluya!” Punah lagi, ia bertanya lagi, “Saudara diberkati? Halleluya!” Punah lagi serangan saya. Saya penasaran bercampur senang, gila si gendut montok ini, manteranya aneh, “Halleluya” terus. Saya melhat situasi dulu saja. Ibid. hal 34-35
Ada altar call. Waktu pemanggilan, Pak Gilbert tahu saya ikut maju. Bukan untuk bertobat. Wow, hati saya terbakar oleh ambisi untuk mengalahkan lawan sebanding ini. Langsung dia menyambut saya, “Kamu Tony?” Saya kaget sekali disambut demikian oleh orang yang tidak saya kenal. Saya pikir, sakti juga pendeta ini bisa mengenal saya sebelum kenalan. Apa dia bisa kontak batin dengan roh saya? Berarti ajian saya ditembus dong? Tidak tahunya saya dikerjai, karena memang ada yang memberi tahunya. Ibid. hal 35
Tapi saya anggap pertanyaannya sebagai ucapan tantangan sehingga saya menjawab dengan pertanyaan juga biar tidak kalah gertak. “Kamu Gilbert?” Kami bertatapan mata dengan mata, dekat sekali. Ibid. hal 35-36
“Besok!” Gilbert berkata setelah kami terdiam beberapa saat, “Saudara saya tunggu. Halleluya!” Saudara yang punya ilmu menghilang itu ya? Bisa berjalan di atas air itu ya? Saya tunggu saudara, besok.” Langsung saya menukas, “Oke, besok pagi saya ke sini. Tentukan jamnya dan di mana!” Saya langsung memakai aji saipi angin, langsung ada di Sragen, meninggalkan kakak saya kebingungan di Solo. Semalaman saya tidak bisa tidur. Gara-gara apa? Mantera “Halleluya!” Ibid. hal 36
Nah, keesokan paginya saya datang lagi memenuhi tantangan pak Gilbert. Saya menyampaikan salam. Eh, demi mendengar suara saya pendeta-pendeta yang menemani bapak Gilbert termasuk pendeta stefanus sontak mengeluarkan bahasa aneh buat saya semacam, “siki-raba-raba-raba-sande…” Saya terkejut sekali, Mantera apa lagi ini, “Raba-raba?” Setelah saya bertobat, belakangan baru tahu, oh itu bahasa roh. Ibid. hal 36
Bulu kuduk saya menegang oleh gairah dan rasa penasaran untuk menjatuhkannya. Saya baru menemukan lawan seimbang. Jarak satu meter. Mudah merobohkannya, pikir saya. Tetapi apa yang terjadi? Aneh, sewaktu saya melontarkan aji hasto brojo, aji mulut putih, aji brojomusti, aji brojo lamatan secara sekaligus. Ini strategi saya. Kalau “Halleluya”-nya bisa menangkis satu aji, yang lain akan masuk. Sewaktu melontarkan ilmu, sejengkal lagi mengenai kepalanya. Tiba-tiba ilmu saya tidak bertenaga. Ketika dia berseru, “Demi nama Yesus!” Ilmu saya kontan mental berbalik menyerang saya. Saya mencoba ajian lain, mencelat lagi. Yang membuat saya penasaran ilmu saya selalu tinggal sejengkal lagi dari kepalanya yang saya incar. Ibid. hal 37-38
Dari pagi sampai siang, saya mengerahkan semua ilmu tingkat tinggi. Waktu itu semua ilmu saya berbalik mengenai tubuh saya sendiri. Tubuh supranatural saya retak. Tubuh saya yang dilapisi besi kuning, retak dari atas sampai ke bawah. Keluarlah debu tembaga dari tubuh saya. Ibid. hal 38
Sampai sekarang, bekas dari hancurnya debu tembaga masih ada di kulit saya. Coba saudara memegang kulit saya, seperti tidak ada lenturnya. Jadi sewaktu ilmu saya menghilang, debu tembaga itu terlontar, retak. Saya mau muntah darah, tetapi sampai tenggorokan, saya telan lagi. Gengsi dong kalau ketahuan! Saya sempoyongan dan berkata, “Pak Gilbert, gencatan senjata dulu. Besok kita teruskan lagi.” Ibid. hal 38
Hari yang ketiga saya muncul lagi. Waktu saya datang, pak Gilbert langsung menyambut saya dengan penuh percaya diri, “Silahkan, silahkan.” Saya agak tertegun apa ini? Dia mempersilahkan aku menyerang? Saya melirik, ada berapa pendeta waktu itu. Saya merapal sisa mantera yang ada, dari pagi sampai siang lagi. Dan sesuatu yang sama selalu terjadi. Kali ini saya bersiasat melumpuhkan pendeta-pendeta di sekitarnya terlebih dahulu yang saya anggap ilmunya tentu tidak setinggi pak Gilbert. Ibid. hal 39
Tetapi, saya bosan dan frustasi sekali melihat bagaimana sewaktu ilmu saya nyaris mengenai pendeta-pendeta itu, mencelat kembali. Setelah menyerang berkali-kali dan diserang balik, saya merasa mau muntah darah lagi. Saya telan lagi, saya sempoyongan lagi. Ini sudah berkali-kali. Cukup sudah aku bermain-main. Saya memutuskan sambil terhuyung-huyung. “STOP!” saya berseru dengan keras. Mereka berhenti berdoa dan melihat saya. Ibid. hal 40
“Ada apa Tony?” Pak Gilbert menjawab dengan tenang. Saya mengancam mereka sambil terengah-engah, “Pak Gilbert, ini ilmu terakhirku. Ilmu pamungkas, Pukulan Tapak Tanpa Rasa. Kuberitahu, kalau aku kalah, aku akan berguru kepada kalian, tapi kalau aku menang, kuperingatkan, kalian semua akan mati di tanganku. Saat itu juga!” Ibid. hal 40
Saya mulai merapal mantera, tapi pak Gilbert dengan percaya diri hanya menyuruh pak Stefanus untuk tetap berdoa. Saya berharap sekali suatu hari pak Gilbert akan menceritakan kepada saudara bagaimana bertarung dengan saya. Demiian pula dengan pak Stefanus Pingki, yang kebetulan sama-sama gendut. Lawannya, saya, kurus kering. Ibid. hal 42
Saya akhirnya mengambil keputusan melontarkan ilmu pamungkas itu. Batu sejauh 50km saja hancur apalagi daging berjarak satu meter. Sewaktu saya melontarkan ilmu pamungkas itu, tiba-tiba dari tubuh pendeta-pendeta itu, keluar cahaya yang sangat menyilaukan. Ibid. hal 42
Sewaktu melihat terang yang gilang-gemilang itu, tubuh saya gemetaran hebat. Saya tahu saya pasti kalah. Saya sudah tahu. Tai kalau saya kalah, saya malu. Jadi kalau saya melontarkan ilmu ini dan ilmu itu berbalik mengenai saya, saya pasti mati. Senjata makan tuan. Karena saya melontarkan ilmu di ats tingkatan santet. Tapi saya bepikir pendek waktu itu, untuk apa aku hidup kalau tidak bisa balas dendam. Lebih baik aku mati dengan cara ini! Ibid. hal 42
Mantera selesai dirapal, ilmu pamungkas sayapun melesat. Saya tahu dalam hati saya kalau kalah, saya tak mungkin sempat berguru kepada mereka. Hasil peperangan ini cuma satu: Mereka atau saya yang mati. Ibid. hal 43
Waktu ilmu itu nyaris mengenai pak Gilbert, pak Stefanus Pingki dan pendeta lain, sesuatu yang luar biasa terjadi! Cahaya berkilauan yang keluar dari tubuh mereka itu melapisi mereka dengan cepat. Menangkis ilmu saya. Pukulan saya mental. Berbalik menyerang saya tanpa tertahankan lagi. Kedasyatan ilmu itu membuat saya terpelanting jauh ke belakang, kira-kira 10-12 meter. Akibatnya fatal! Langsung hilang ingatan, satu tahun menjadi idiot. Setahun penuh! Ibid. hal 43
Pada waktu saya sadar, jantung saya seakan berhenti, Kok lokasi duelnya sudah berubah? Banyak tanda tanya di benak saya, Lho aku kan kemarin bertarung dengan pendeta-pendeta gendut. Kemana Mereka? Ibid. hal 44
Bengcu menjawab:
Pertarungan antara Ev. Daud Tony dan Pdt. Gilbert Lumoindong STh itu terjadi tahun 1992 di Solo, saat ini tahun 2008, itu berarti pertarungan itu terjadi 16 tahun yang lalu. Dari cerita tersebut di atas nampak betapa serunya pertarungan tersebut, sehingga kemungkinannya kecil para saksi mata pertarungan tersebut tidak menyaksikannya kepada orang Kristen lainnya atau telah melupakannya. Bila anda tertarik untuk melakukan investigasi, masih banyak waktu. Berikut ini adalah data-data permulaan yang dapat anda gunakan.
Saksi mata peristiwa pertama, Ev. Daud Tony BERUBAH menjadi HARIMAU PUTIH yang disebutkan namanya oleh Ev. Daud Tony adalah Pdt. Stefanus Pingki, Pdt. Debora Dewi dan beberapa pendeta lain. Tempat kejadiannya adalah ruangan doa, tempat persekutuan, bukan ibadah gereja.
Saksi mata peristiwa kedua, Ev. Daud Tony MENGHILANG dengan ilmu SAIPI ANGIN (pergi ke mana saja dalam 3 langkah). Dalam pewayangan ilmu itu adalah milik Batara Bayu (Dewa Angin). Hal itu terjadi ketika Pdt. Gilbert Lumoindong STh melakukan altar call dan Ev. Daud Tony maju ke depan sehingga saksi matanya selain Pdt. Gilbert Lumoindong dan Pdt. Stefanus Pingki juga beberapa pendeta lainnya dan orang-orang yang bertugas di depan mimbar serta orang-orang yang menyambut altar call. Nampaknya Ev. Daud Tony sengaja memamerkan ilmunya untuk membuat musuhnya gentar sebelum pertarungan keesokan harinya.
Saksi mata peristiwa ketiga, Ev. Daud Tony menyerang dengan ilmunya dari pagi hingga siang. Tempatnya tidak disebutkan, apakah di ruangan KKR atau di ruangan lainnya, misalnya ruangan doa. Yang hadir selain Pdt. Gilbert Lumoindong STh dan Pdt. Stefanus Pingki adalah beberapa pendeta lain (atau dianggap pendeta oleh Ev. Daud Tony?).
Pada saat itu Ev. Daud Tony menyebutkan beberapa ajian yang dilancarkannya yaitu: Aji hasto brojo, aji mulut putih, aji brojomusti, aji brojolamatan. Saya belum pernah mendengar tentang aji hastabraja, yang saya ketahui adalah sikap hastabrata yaitu delapan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Saya juga tidak tahu sama sekali tentang aji mulut putih. Namun untuk kedua aji berikutnya saya punya cerita.
Dalam cerita wayang, Brajamusti dan Brajalamatan adalah saudara kandung Dewi Arimbi ibu dari Gatot Kaca. Ketika Dewi Arimbi mengangkat anaknya Gatot Kaca untuk menjadi raja di negeri atas angin Pringgodani, keduanya marah lalu bergabung dengan para pemberontak. Dalam pertempuran keduanya gugur di tangan Gatot Kaca lalu menjelma menjadi ajian atau ilmu sakti. Dengan aji Brajamusti di tangan kanannya Gatot Kaca memiliki ilmu kebal dan kekuatan luar biasa. Sedangkan dengan aji brajalamatan di tangan kirinya, Gatot Kaca memiliki kekuatan luar biasa. Mungkinkah kedua ilmu yang digunakan oleh Ev. Daud Tony itu adalah warisan dari Gatot Kaca, sang kaisar negeri atas angin, pringgodani?
Saksi mata peristiwa keempat selain Pdt. Gilbert Lumoindong dan Pdt. Stefanus Pingki adalah beberapa pendeta lain (atau dianggap pendeta oleh Ev. Daud Tony). Tempat kejadian tidak diceritakan apakah di ruangan KKR atau di ruang lainnya. Pada saat itu Ev. Daud Tony setelah bosan lalu mengerahkan ilmu pamungkasnya yaitu Pukulan Tapak Tanpa Rasa yang dapat menghancurkan batu dari jarak 50km.
Tadinya saya berpikir ilmu Pukulan Tapak Tanpa Rasa adalah sejenis ilmu santet di mana Ev. Daud Tony memasukkan tenaga dalamnya ke alam gaib lalu mengeluarkannya 50km kemudian. Namun ternyata dugaan saya salah, menurut Ev. Daud Tony ilmu itu tingkatannya di atas ilmu santet. Ketika melontarkannya, alih-alih menyusup ke alam gaib, ilmu itu justru melesat. Ditambah dengan penjelasan Ev. Daud Tony di bukunya yang lain, nampaknya Pukulan Tapak Tanpa Rasa adalah ilmu tenaga dalam. Ketika melancarkannya maka dari kedua telapak tangannya akan keluar tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga dapat menghancurkan batu yang jaraknya 50km dari dirinya. Kehebatan ilmu itu adalah, hanya batu itu yang hancur lebur, namun benda-benda padat sejauh 50 km yang menghalanginya tidak luka sama sekali.
Pukulan Tapak Tanpa Rasa memang luar biasa, secara teori, sebelum menguasai ilmu tersebut anda harus menguasai ilmu melihat jarak jauh, dengan ilmu demikian maka anda akan memiliki mata setajam mata Superman yang selain dapat melihat sejauh 50Km juga mampu melihat tembus benda-benda padat yang menghalangi pandangan. Tanpa ilmu melihat jarak jauh, mustahil dapat menghancurkan batu yang berjarak 50km dari anda dengan tepat.
Ilmu tersebut benar-benar pamungkas yang hanya boleh dilontarkan sebagai pilihan terakhir. Bila melontarkan ilmu tersebut dengan kekuatan penuh terhadap seseorang yang berdiri 1 meter di hadapan anda, maka selain luluh-lantak, serpihan tubuhnya akan muncrat minimal sejauh 49 km, 999 m. Sungguh mengerikan! 50 km itu berarti 50.000 meter. Silahkan membayangkan sebuah kota yang letaknya kira-kira 50 km dari tempat tinggal anda sekarang.
Ev. Daud Tony sungguh beruntung, tanpa mujizat Allah, mustahil dia yang tubuh supranaturalnya sudah retak dari atas ke bawah (kenapa hanya retak dari atas ke bawah? Kenapa tidak retak dari kanan ke kiri?) hanya mencelat sejauh 10-12m ketika dihajar ilmu pamungkasnya sendiri, padahal secara teori dia seharusnya mencelat 49km, 999mm. Dia juga beruntung karena ruangan tempat pertarungan itu berlangsung sangat tinggi, luas dan kosong, sebab ketika mencelat sejauh 12 meter, itu pasti terjadi dalam gerak parabola (ah, bila saja ada ahli fisika yang mau meluangkan waktu untuk menghitungnya?) yang memerlukan ruangan yang tinggi dan luas, sebab bila ruangan itu pendek, kecil atau penuh dengan kursi untuk KKR, maka dia pasti mencelat menghantam langit-langit atau dinding atau membuat kursi berantakan, bahkan luluh-lantak? Anda pernah main bulutangkis? Nah, ukuran lapangan bulutangkis adalah 6,1 m X 13,4 m, silahkan membayangkan berapa tinggi dan jauh Ev. Daud Tony mencelat.
2 komentar:
Consttine, saya hai hai, penulis blog yang and pasang. Anda boleh memasang blog tersebut namun harus menyebutkan sumbernya yaitu SABDASpace.
salam
hai hai
copy paste,bentar lg di di buang ke tong sampah ni blog,oleh google.
Posting Komentar